Rabu, 10 Februari 2016

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran
Dosen : Mario Emilzoli M,pd

Disusun Oleh :
Ernita lestari Dewi
Atip Hidayat


https://pbs.twimg.com/profile_images/614458666863833088/
Fakultas Tarbiyah
Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar/MI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM(STAI) SILIWANGI BANDUNG
2016
·         Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

·         Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap

Sikap (afektif) erat kaitanya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat-sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak, pandangan seseorang tentang semua itu, nilai pada dasarnya adalah setandar perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
1.      Normativist : Kepatuhan yang terdapat pada norma-norma hukum.
2.      Integralist : Kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
3.      Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4.      Hedonist : Kepatuhan berdasarkan diri sendri.
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, berlajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berguna atau berharga (sikap negatife).

 

·         Proses Pembentukan Sikap

Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru dan mata pelajarannya.
Modeling.
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontoaan. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginan untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku-perilaku yang di peragakan atau di demontrasikan oleh orang yang menjadi idman. Modering adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang di hormatinya. Pemodelan biasanya di nilai dari perasaan kagum.

·         Model Strategi Pembelajaran Sikap

Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi problematic, melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang di anggapnya baik.
1.      Model Konsiderasi
Model konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurutnya pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk keperibadian, tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki keperibadian terhadap orang lain.
2.      Model Pengembangan Kognitif
Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John dewey dan Jean Piage yang berpendapat bahwa perkembangan manusia menjadi sebagai proses darirestrukturisasi kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
3.      Tehnik Mengklarifikasikan Nilai
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat di tarik sebagai tehnik pengajaran untuk membentuk siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai yang di anggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai menurut anggapanya baik, yang pada akhirnya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif.
Kesulitan dalam pembelajaran afektif ini dikarnakan :
Sulit melakukan control karma banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya di temukan oleh faktor guru, akan tetapi faktor lain terutama faktor lingkungan.
Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berbeda dengan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup pnjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses lama.
            Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa dipungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti budaya asing yang belum cocok dengan budaya lokal menerobos dalam setiap ruang kehidupan.
           

·         Afektif Sebuah Strategi Pembelajaran Terapan
Pembelajaran Afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu memperoleh pembelajaran. Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran, melainkan pendidikan. Strategi pembelajaran yang akan kita bahas ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai subjek belajar. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu, memang Afektif dapat muncul dalam kejadian berhavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tidak serta merta menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan tidak indah dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang mengenai baik dan buruk, layak dan tidak tidak layak dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman niali kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap niali tertentu yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002) yaitu :
1)      Normativist
Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum, kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri ; kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri ; kepatuhan pada haslinya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
2)      Integralist
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional
3)      Fenomenalist
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4)      Hedonist
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Faktor Normativist adalah faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap individual, karena kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Dari empat faktor diatas terdapat lima tipe kepatuhan, yakni :
a.         Otoritarian
Yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b.         Conformist
Kepatuhan ini mempunyi tiga bentuk, antara lain : Conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain, conformist hedonist yaitu kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi” dan conformist integral yaitu kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
c.         Compulsive : Yaitu kepatuhan yang tidak konsisten
d.        Hedonik Psikopatik
Yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e.         Supramoralist
Yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Pada era teknologi informasi yang berkembang secara pesat ini, pendidikan nilai sangatlah penting untuk diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang negatif. Nilai pada seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah diatas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian sikap seorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
1. Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
2. Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik
3. masalai ini adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga bisa di bina.
4. Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu
Sikap adalah kecenderungan seseerang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek; berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berhrga/tidak berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dlam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternative (winkel : 2004).
Apakah sikap dapat dibentuk ?
Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh skinner melalui teorinya operant conditioaning. Proses pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kalianak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi tau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan. Prinsip peniruan ini dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada awalnya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pengarahan dan pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar disadari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.

F. Model-model strategi pembelajaran sikap antara lain :

a)      Model konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul (seorang humanis). Dia menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan perkembangan kognitif yang rasional. Menurut dia, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian dengan tujuan agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Implementasi dari model ini, guru dapat mengikuti tahapan dibawah ini :
a.       Menghadapkan siswa pada suatu maslah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan suasana “seandainya siswa tersebut ada dalam masalah itu”.
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalah tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaanya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Siswa diajak berfikir keras dan harus dapat menjelaskan argumennya secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat orang lain.
f.       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar atau salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangan sendiri.

G. Model Pengembangan kognitif

Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kholberg. Model ini hanya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap. Tingakat-tingkat tersebut antara lain :
a. Tingkat Prakonvensional
      Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini dibagi dua tahap yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhui agar tidak timbul konsekuensi negatif : Tahap orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik, dengan demikian perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling meberi.
b. Tingkat Konvensional
Dalam tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat. Pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada keadilan belaka, akan tetapi apakah permasalahan itu sesuai dengan norma masyarakat.






 



8 komentar:

  1. Bagaimana caranya agar siswa itu aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan keinginan untuk belajarnyaa itu sangat kurang??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
    2. Menurut saya biar siswa aktif dan membuat belajar siswa menyenang kan itu dalam proses pembelajaran nya bisa kita menggunakan media .dalam pembelajaran ny pun juga bisa sampai siswa mencoba media yang telah di pakai supaya d dalam pembelajaran siswa aktif dan tidak membosan kan .di contoh kan kaya yang pernah d persentasikan d kls waktu pembahasan ukuran satuan.

      Hapus
  2. Hal apa saja yang menjadi hambatan dalam penerapan stategi pembelajaran efektif?

    BalasHapus
  3. Mungkin yang jadi hambatan nya Pembentukan dan pengembangan sikap dan moral seorang siswa dalam pendidikan.

    BalasHapus
  4. Model ini menekankan
    kepada strategi pembelajaran yang
    dapat membentuk kepribadian dengan
    tujuan agar siswa menjadi manusia
    yang memiliki kepedulian terhadap
    orang lain.
    kadang tidak semua siswa memiliki kepedulian ter hadap orang lain bagaimana cara mengatasi nya?

    BalasHapus
  5. Dalam penilaian berbasis kelas terdapat beberapa teknik penilaian yang dapat dipilih oleh seorang pendidik, coba uraikan teknik penilaian seperti apa yang sesuai untuk ranah afektif, kognitif dan psikomotorik ?

    BalasHapus
  6. adakah kelemahan dari pembelajaran ini?

    BalasHapus